Fiqah : PUASA
Dalil kewajiban shaum:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).
Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:
«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal:
Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»
Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).
Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa:
Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya.
Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»
Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?
Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).
Allah SWT juga berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»
Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:
«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»
Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dari Anas ra. juga dikatakan:
«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»
Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).
Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?
Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka.
Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.
Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?
Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:
`
«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»
Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).
Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?
Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ
Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:
«مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ بِرَجُلٍ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُرَشُ عَلَيْهِ الْماَءُ فَقَالَ: مَا بَالَ هَذَا؟ قَاُلْوا: صَائِمٌ. فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»
Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya. Beliau lalu bertanya, “Mengapa orang ini?” Para Sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” (HR an-Nasa’i).
Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?
Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya, khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya; atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik al-Ka‘bi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحاَمِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ»
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.
Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-qadha’ shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa mereka memang wajib untuk berpuasa.
Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara di-qadha’. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. yang menyatakan:
«اِنَّ اِمْرَأَةً قاَلَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَنِّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاَصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْكاَنَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ اَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ اُمِّكِ»
Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya?” Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasul lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim).
Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang menunjukkannya.
Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan?
Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal (bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan bilangan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah mulai berpuasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ، وَلاَ تَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً»
Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal, peny.). Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan bulan Sya‘ban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dan ad-Darimi).
Haruskah Shaum didahului niat ?.
Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:
«اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ»
Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim).
Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.
Bilakah Niat Dilakukan?
Shaum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:
«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَبِيْتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ»
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.” (HR an-Nasa’i dan ad-Darimi).
Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.
Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?
Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:
«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَصْبَحَ اليَوْمُ، عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمُوْنَ؟ فَقَالَتْ: لاَ. فَقَالَ: اِنِّي إِذًا صَائِمٌ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, “Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw. kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.” (HR Ahmad).
Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrub kepada Allah yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu. Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat pada masing-masing hari adalah wajib.
Bilakah Waktu pelaksanaan shaum?
Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shâdiq (waktu subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:
«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذاَ أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَاَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Jika malam telah datang dari sini, siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Allah SWT juga berfirman:
(وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar, lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]: 187).
Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang dalam puasa tanpa ada uzur.
Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?
Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang menyatakan:
«قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: اَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلاَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا»
Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.” Beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari, optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyâq), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhûm mukhâlafah)-nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-istinsyâq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung, dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air, tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung, telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.
Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?
Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).
Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan. Apabila yang dicampuri itu kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:
«قَبَلْتُ وَاَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: قَبَلْتُ، وَاَنَا صَائِمٌ. فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ وَاَنْتَ صَائِمٌ»
Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi saw., kemudian bertanya, “Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur pada waktu engkau berpuasa?” (HR Ahmad).
Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar menciumnya.
Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?
Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:
«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah memancing dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Siapa saja yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha’ puasanya.’” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Kalau Lupa ?
Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«مَنْ اَفْطَرَ فِي شَّهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفاَرَةَ»
Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib meng-qadha’ dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi).
Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw. yang pernah bersabda:
«اِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ اَوْشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ»
Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar ?
Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha’-nya. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:
«كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي السَّمَاءِ شَيْءٌ مِنَ السَّحَابِ. فَظَنَّناَ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ فَاَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ فَاَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ كَانَ قَدْ اَفْطَرَ اَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا مَكَانَهُ»
Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-Haitsami).
Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari Fathimah, istrinya, dari Asma’ yang mengatakan:
«اَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. قِيْلَ لِهِشاَمِ: اُمِرُوْا بِالْقَضَاءِ. قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»
Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan, “Mereka disuruh meng-qadha’ puasa.” Dia lalu berkata, “Tentu saja harus meng-qadha’ puasa.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?
Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
«مَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ»
Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha’-nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Nabi saw. juga pernah bersabda:
«فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»
Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).
Bagaimana yang melakukan hubungan suami istri tanpa uzur ?
Adapun orang yang berbuka karena melakukan hubungan suami-istri tanpa uzur, maka di samping wajib meng-qadha’ puasanya, ia juga wajib membayar kafarah. Pasalnya, Nabi saw. sendiri telah menyuruh orang yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadhan agar meng-qadha’ puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:
«جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ،.قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ ماَ تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَاَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقِ فِيْهِ تَمَرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. فَقَالَ: أَعَلَى اَفْقَرِ مِنَّا فَمَا بَيْنَ ِلاِبْتِيْهَا اَهْلَ بَيْتِ اَحْوَجَ اِلَيْهِ مِنَّا؟ فَضَحَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ, ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَاَطْعِمْهُ اَهْلَكَ»
Seorang laki-laki pernah menjumpai Nabi saw. Ia lalu berkata, “Celakalah aku, wahai Rasulullah!” Rasul kemudian bertanya, “Apa yang telah mencelakaknmu?” Dia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku saat siang hari pada bulan Ramadhan.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang dapat memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang bisa memberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak juga.” Kemudian dia duduk, sementara Nabi saw. datang dengan membawa bakul besar yang penuh dengan kurma. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Bersedekalah engkau dengan kurma ini!” Namun, orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang paling fakir di antara kami? Sungguh, tidak ada di daerah kami penduduk yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami sekeluarga.” Mendengar itu, Nabi saw. tertawa hingga gigi taringnya tampak. Beliau kemudian bersabda, “Kalau begitu, pulanglah. Lalu beri makanlah keluargamu dengan kurma ini!” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Inilah kafarah wajib yang harus ditunaikan oleh orang yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan dengan menggauli istrinya secara sengaja.
Bagaimana Hukum Makan Sahur ?
Orang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Anas ra.:
«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَسَحَّرُوْا فَإِنًّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terkandung berkah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).
Apa Sunnah Berbuka ?
Orang yang berpuasa juga disunnahkan berbuka dengan makan kurma. Jika kurma tidak ada, ia disunnahkan berbuka dengan minum air. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Salman bin Amir yang mengatakan:
«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا اَفْطَرَ اَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمَرٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَاِنَّهُ طَهُوْرٌ»
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian berbuka, berbukalah dengan kurma; jika ia tidak mendapatkannya, berbukalah dengan air karena air itu suci.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).
Bagaimana Sunnah Doa Berbuka ?
Selanjutnya, saat berbuka puasa seseorang disunnahkan untuk membaca doa berikut:
«اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.
Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang mengatakan:
«كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَذَا صَامَ ثُمَّ اَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»
Rasulullah saw. itu, jika berpuasa, lalu berbuka, Beliau biasa mengucapkan, “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.” (HR Abu Dawud).
Orang yang berpuasa Ramadhan juga disunnahkan untuk menyambung puasanya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Ayyub ra. berikut:
«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ»
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun. (HR Muslim).
Pada hari Arafah, selain jamaah haji disunnahkan berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Qatadah ra.:
«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَوْمُ عَاشُوْرَاءَ كَفاَرَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةٍ كَفَارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٌ قَبْلَهَا مَاضِيَةً وَسَنَةٌ بَعْدَهَا مُسْتَقْبَلَةً»
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Puasa Asyura adalah kafarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kafarah (dari dosa) dua tahun; satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR Ahmad).
Puasa Asyura disunnahkan berdasarkan hadis Abu Qatadah di atas. Disunnahkan pula puasa pada hari sebelum Asyura, yakni tanggal sembilan Muharram. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Ibnu Abbas ra.:
«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَئِنْ بَقَيْتُ اِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ»
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram). (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Dalam hadis riwayat Muslim, hadis di atas ditambah dengan kalimat berikut:
«فَلَمْ يَأْتِ الْعَامَ الْمُقْبِلَ حَتَّى تُوُفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Tahun depan belum juga tiba, Rasulullah saw. telah terlebih dulu wafat. (HR Muslim).
Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan hari Tasu’a’ adalah hari kesembilan dari bulan tersebut.
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari-hari putih (al-baydh), yakni puasa tiga hari pada tiap-tiap bulan. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. sebagai berikut:
«اَوْصَانِي خَلِيْلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ كُلَّ شَهْرٍ»
Kekasihku (Rasulullah) saw. pernah berwasiat kepadaku agar berpuasa tiga hari pada setiap bulan. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).
Puasa tiga hari ini boleh dilakukan pada hari apa saja tanpa harus ditentukan. Hanya saja, yang dianggap utama adalah pada tanggal 13, 14 dan 15. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Dzarr ra.:
«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثًا، فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ»
Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Ketetapan di atas juga didasarkan pada hadis penuturan Jarir bin Abdillah dari Nabi saw. yang pernah bersabda:
«صِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ مِِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، اَيَّامُ البَيْضِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ»
Puasa tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun, yakni puasa hari-hari putih, adalah: tanggal 13, 14, dan 15. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ahmad dan ad-Darimi).
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang mengatakan:
«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ»
Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Sumber : Ahkâm ash-Shalâh. Mesir: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Cet. 1, 1991, Karya al-Ustadz Ali Ragib, Guru Besar Universitas al-Azhar asy-Syaried Kairo, Mesir.
*****************************************************
PUASA
Pengertian Puasa:
Puasa ialah menahan diri daripada makan dan minum serta perkara-perkara yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Hukum puasa bulan Ramadhan adalah wajib.
Golongan Wajib Puasa:
Jamhur Ulama’ berpendapat bahawa golongan yang wajib berpuasa ialah :
1. Orang Islam ; tidak sah puasa orang kafir @ murtad
2. Berakal ; tidak wajib ke atas orang gila @ tidak suiman
3. Baligh ; tidak wajib ke atas kanak-kanak, tetapi puasanya sah.
4. Menetap di sesuatu tempat iaitu tidak musafir
5. Mampu berpuasa ; bukannya orang yang sakit ataupun terlalu tua
Rukun Puasa :
1. Niat berpuasa.
Orang yang ingin berpuasa wajib seperti Puasa bulan Ramadhan (termasuk qadhanya), Puasa Nazar dan Puasa Kifarah hendaklah berniat di malam hari sebelum terbit fajar. Manakala mana-mana puasa sunnat bolehlah berniat sebelum gelincir matahari (waktu Zohor) dengan syarat belum lagi melakukan perkara-perkara yang boleh membatalkan puasa.
2. Menahan diri daripada makan dan minum serta perkara-perkara ayang boleh membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam fajar.
Di samping itu, orang yang berpuasa dikehendaki menjaga adab-adab puasa seperti meninggalkan segala perkara keji yang boleh mengurangkan pahala puasa tetapi tidak sampai membatalkannya misalnya mengumpat, menyebut perkataan keji dsb.
Perkara Yang Membatalkan Puasa:
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Mengeluarkan mani dengan sengaja
3. Keluar haid, nifas atau wiladah
4. Melakukan persetubuhan walaupun tidak keluar mani . Wajib qada’ dan membayar kafarah iaitu memerdeka sorang hamba, jika tiadak dapat hendaklahberpuasa 3 bulan berturut-turut dan jika tidak mampu hendaklah memberi sedeqah makanan asasi kepada 60 orang miskin.
5. Muntah dengan sengaja
6. Memasukkan sesuatu ke dalam rongga yang terbuka dengan sengaja
7. Gila walaupun sebentar
8. Pitam atau pengsan sepanjang hari
9. Murtad
Hari Yang diharamkan Berpuasa:
1. Hari Raya Puasa (1 Syawal)
2. Hari Raya Haji (10 Zulhijjah)
3. Hari Tasyrik (11,12 dan 13 Zulhijjah)
4. Hari Syak (30 Syaaban)
Hari Yang Disunatkan Puasa:
1. Berpuasa 6 hari di bulan Syawal
2. 10 Muharram ( Hari Asyura)
3. sepanjang bulan Rejab
4. sepanjang bulan Syaban (terutama 15 Syaaban)
5. Hari Isnin atau Khamis
6. 13,14 dan 15 harin bulan setiap bulan Islam
7. berpuasa berselang hari iaitu sehari berpuasa sehari berbuka dan seterusnya
Sunat-Sunat Puasa:
1. Menyegerakan berbuka
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dari Sahl bin Saad bahawa Rasululah SAW telah bersabda "Seseorang itu sentiasa mendapat kebaikan selama mana mereka menyegera berbuka puasa". Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Rasulullah SAW apabila baginda berbuka puasa, baginda berbuka dengan beberapa biji kurma basah sebelum solat. Jika tiada kurma basah, baginda berbuka dgn kurma kering. Jika tiada kurma kering, baginda berbuka dengan beberapa teguk air. Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Turmizi.2. Bersahur dan melambatkannya
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَة.
Dari Anas RA bahawa Rasulullah SAW telah bersabda Bersahurlah kamu, kerana sahur itu mempunyai keberkatan. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ وَبِالْقَيْلُولَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ
Dari Ibnu Abbas RA bahawa Nabi SAW telah bersabda ; Carilah kekuatan melalui sahur untuk puasa keesokan hari dan melalui Qailulah (tidur sekejap sblm Zohor) untuk mendirikan ibadah malam. Hadis riwayat Ibnu Majah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِين
Dari Abu Said al-Khudri, Rasululah SAW telah bersabda "Sahur itu membawa berkat, oleh itu janganlah kamu biarkan walaupun sesiapa drp kamu bersahur dengan seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para malaikat sentiasa berdoa untuk orang-orang yang bersahur. Hadis riwayat Ahmad.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ
Dari Abu Zar, Rasulullah SAW bersabda : Umatku sentiasa dalam kebaikan selama mana mereka bersegera berbuka puasa dan melambatkan sahur. Hadis riwayat Ahmad.3. Berdoa selepas berbuka puasa
4. Memelihara percakapan drp perkataan dusta, lucah, keji dan tidak berfaedah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : Sesiapa yang tidak menghentikan percakapan dusta dan terus melakukannya, Maka Allah SWT tidak mempunyai hajat pada orang tersebut untuk dia meninggalkan makan minumnya. Hadis riwayat Bukhari, Abu Daud, Turmizi, Nasaie dan Ibnu Majah.
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ , وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ.
Ramai orang puasa, tetapi balasannya hanya lapar dan dahaga (tiada pahala) dan ramai orang berjaga malam (beribadah) balasannya hanyalah mengantuk (tiada pahala). Hadis riwayat Ahmad dan Tabarani.
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
Apabila seseorang drp kamu berada dalam hari puasa, maka janganlah ia memaki dan mengherdik orang lain. Andainya ia dicela oleh seseorang atau dimusuhi, hendaklah ia berkata "Saya berpuasa". Hadis riwayat Bukhari.5. Membanyakkan membaca al-Quran dan berzikir serta beriktikaf
6. bersedeqah makanan dan harta
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Sesiapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa (utk berbuka puasa), akan mendapat balasan pahala yang sama seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa dikurangkan sedikitpun drpnya. Hadis riwayat Turmizi dan Ibnu Majah.Perkara-perkara Makruh Semasa Puasa:
1. Berbekam
2. Mandi terlalu kerap dan lama
3. Tidur sepanjang hari
4. Berkumur berlebihan
5. Merasakan makanan dengan lidah
6. Menggosok gigi selepas gelincir matahari (selepas waktu Zohor)
Golongan Yang dibolehkan Berbuka:
a) orang sakit
b) orang musafir yang melebihi 2 marhalah
c) Ibu yang hamil
d) ibu yang menyusukan anak
e) orang yang terlalu tua
f) orang yang sentiasa bekerja berat
g) orang yang akan mendapat mudarat sekiranya meneruskan puasanya kerana terlalu lapar
Golongan Yang Wajib Berbuka:
1. Wanita yang haid
2. Wanita yang keluar darah nifas
Qada’, Fidyah dan Kifarah :
Orang yang meninggalkan puasa diwajibkan mengqadakkan semula puasanya atau membayar fidyah atau kedua-duanya sekali. Ia juga boleh dikenakan kifarah.
Qada’ Puasa ialah mengantikan semula puasa yang ditinggalkan di hari yang lain. Sementara Fidyah Puasa ialah denda yang dikenakan kerana meninggalkan puasa. Denda yang dikenakan ialah membayar secupak makanan asasi sesebuah negara spt beras, gandum dsb bagi satu hari puasa yang ditinggalkan.
Kifarah Puasa ialah denda yang dikenakan kepada LELAKI BERPUASA yang melakukan persetubuhan di siang Ramadhan. Dendanya ialah ;
a) Memerdekakan seorang hamba; atau
b) Puasa selama 60 hari berturut-turut ; atau
c) Memberi makan 60 cupak makanan asasi kepada fakir miskin
Golongan Wajib Qada’:
1. Orang yang berbuka kerana sakit, wajib qada puasanya setelah dia sembuh.
2. Orang yang berbuka kerana musafir, wajib qada puasanya setelah dia selesai daripada musafir.
3. Orang yang berbuka kerana tersangat lapar.
4. Orang yang perempuan berbuka kerana haid atau nifas, wajib qada puasanya setelah dia suci.
5. Orang yang berbuka kerana gila, wajib qada puasanya setelah dia sembuh.
6. Perempuan yang mengandung atau menyusukan anak yang berbuka kerana bimbang kesihatan dirinya.
Golongan Yang Wajib Membayar Fidyah sahaja:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata : Telah diberi rukhsah kepada orang yang sangat tua untuk berbuka puasa dan memberi makan setiap hari (yang ditinggalkannya) seorang miskin dan tidak wajib qadha'. Riwayat Daruqutni dan al-Hakim
1. Orang tua yang uzur
2. Orang sakit yang tiada harapan sembuh
3. Orang yang sentiasa bekerja berat yang akan memudahratkan dirinya jika terus berpuasa
Golongan Yang Wajib Qada’ Puasa dan Membayar Fidyah:
1. Perempuan yang mengandung atau menyusukan anak yang berbuka kerana bimbang kesihatan anaknya.
2. Perempuan yang mengandung atau menyusukan anak yang berbuka kerana bimbang kesihatan diri dan anaknya.
3. Orang yang melewatkan qada’ puasa sehingga melewati Ramadhan yang berikutnya.
Golongan Yang Wajib Qada' dan Kifarah:
1. Lelaki yang sengaja melakukan persetubuhan di siang hari Ramadhan.
******************************************
PUASA NADZAR.
Nadzar secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan baik atau buruk. Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu. Nadzar hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa sunnah) atau fardhu kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, dll), sehingga tidak sah nadzar pada ibadah fardhu ‘ain (seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau yang bukan ibadah, baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh (seperti puasa dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram (seperti minum khomr, berjudi, dll).
Nadzar terbagi menjadi dua :
1. Nadzar lajaj, yaitu : nadzar yang berupa anjuran pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu, atau pencegahan dari melakukan sesuatu atau karena marah dengan mewajibkan pada dirinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya : pernyataan “jika aku berbicara dengan Zaid, maka aku akan berpuasa satu hari”, dalam pernyataannya “jika aku berbicara dengan Zaid” bisa karena didasari marah kepadanya, atau ingin mencegah dirinya dari berbicara dengannya atau hanya karena ingin mendorong dirinya untuk berpuasa.
2. Nadzar tabarrur, yaitu : nadzar yang tidak digantungkan dengan sesuatu apapun atau digantungkan dengan sesuatu yang disukai. Misalnya pertama : “aku nadzar puasa hari senin dan kamis” , misal kedua : “ jika aku sembuh dari penyakitku, maka aku akan bersedekah”
Syarat-syarat nadzir (orang yang nadzar) :
- Beragama islam (khusus untuk nadzar tabarrur, sedangkan nadzar lajaj tidak disyaratkan muslim).
- Atas kehendak sendiri (bukan terpaksa).
- Orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal ).
- Memungkinkan untuk melaksanakan nadzarnya.
Maka tidak sah nadzar anak kecil, orang gila, dalam keadaan dipaksa, melakukan perkara yang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya seperti nadzar puasa bagi orang yang sakit parah dan nadzar orang kafir (khusus nadzar tabarrur)
Nadzar wajib untuk dilakukan dan bagi orang yang meninggalkan : jika berupa nadzar lajaj, si nadzir boleh memilih antara mengerjakan apa yang dinadzari atau membayar kaffaroh yamin yaitu : mengerjakan salah satu dari tiga pilihan berikut : membebaskan budak muslim, memberi makan 10 orang miskin setiap orang satu mud (± 7,5 ons) atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin. Namun jika tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga pilihan di atas, maka wajib puasa tiga hari.
Adapun jika nadzar tabarrur, maka wajib melaksanakan apa yang telah dinadzari (tanpa ada pilihan mengerjakan kaffaroh yamin).
__________________________ ( BAHASA ARAB) _________________________
الياقوت النفيس /214-217
النذر لغة : الوعد ب خير او شرّ، وشرعا : التزام قربة لم تتعين بصيغة
اقسام النذر اثنان : نذر لجاج ، ونذر تبرر. فالأول : هو الحث او المنع او تحقيق الخبر غضبا بالتزام قربة, والثاني : هو التزام قربة بلا تعليق او بتعليق بمرغوب فيه ويسمى نذر المجازاة ايضا.
حكم نذر اللجاج : تخيير الناذر بين ما التزمه وكفارة اليمين، وحكم نذر التبرر : تعين ما التزمه الناذر.
شروط الناذر اربعة : الإسلام في نذر التبرر، والإختيار ، ونفوذ التصرف فيما ينذره، وامكان فعله للمنذور.
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 18 / ص 456)
( وَهُوَ ) أَيْ النَّذْرُ ( ضَرْبَانِ ) أَحَدُهُمَا : ( نَذْرُ لَجَاجٍ ) بِفَتْحِ أَوَّلِهِ بِخَطِّهِ ، وَهُوَ التَّمَادِي فِي الْخُصُومَةِ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِوُقُوعِهِ حَالَ الْغَضَبِ ، وَيُقَالُ لَهُ يَمِينُ اللَّجَاجِ ، وَالْغَضَبِ وَيَمِينُ الْغَلَقِ ، وَنَذْرُ الْغَلَقِ بِفَتْحِ الْغَيْنِ وَاللَّامِ ، وَالْمُرَادُ بِهِ مَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْيَمِينِ بِأَنْ يَقْصِدَ النَّاذِرُ مَنْعَ نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثُّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقُ خَبَرًا أَوْ غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ ( كَإِنْ كَلَّمْتُهُ ) أَيْ زَيْدًا مَثَلًا ، أَوْ إنْ لَمْ أُكَلِّمْهُ ، أَوْ إنْ لَمْ يَكُنْ الْأَمْرُ كَمَا قُلْته ( فَلِلَّهِ عَلَيَّ ) أَوْ فَعَلَيَّ ( عِتْقٌ أَوْ صَوْمٌ ) أَوْ نَحْوُهُ كَصَدَقَةٍ وَحَجٍّ وَصَلَاةٍ ( وَفِيهِ ) عِنْدَ وُجُودِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ ( كَفَّارَةُ يَمِينٍ ) لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ ، وَلَا كَفَّارَةَ فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ قَطْعًا فَتَعَيَّنَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ اللَّجَاجُ ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ وَحَفْصَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ( وَفِي قَوْلٍ ) يَجِبُ عَلَى النَّاذِرِ فِي ذَلِكَ ( مَا الْتَزَمَ ) لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { مَنْ نَذَرَ وَسَمَّى فَعَلَيْهِ مَا سَمَّى } وَلِأَنَّهُ الْتَزَمَ عِبَادَةً عِنْدَ مُقَابَلَةِ شَرْطٍ فَتَلْزَمُهُ عِنْدَ وُجُودِهِ ( وَفِي قَوْلٍ أَيُّهُمَا ) أَيْ الْأَمْرَيْنِ ( شَاءَ ) أَيْ النَّاذِرُ فَيَخْتَارُ وَاحِدًا مِنْهُمَا مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى قَوْلِهِ اخْتَرْت ، حَتَّى لَوْ اخْتَارَ مُعَيَّنًا مِنْهُمَا لَمْ يَتَعَيَّنْ وَلَهُ الْعُدُولُ إلَى غَيْرِهِ ( قُلْت ) هَذَا ( الثَّالِثُ ) كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ ( أَظْهَرُ ، وَرَجَّحَهُ الْعِرَاقِيُّونَ ) بَلْ لَمْ يُورِدْ أَبُو الطَّيِّبِ مِنْهُمْ غَيْرَهُ ( وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ) لِأَنَّهُ يُشْبِهُ النَّذْرَ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ الْتِزَامُ قُرْبَةٍ ، وَالْيَمِينُ مِنْ حَيْثُ الْمَنْعُ ، وَلَا سَبِيلَ إلَى الْجَمْعِ بَيْنَ مُوجِبَيْهِمَا وَلَا إلَى تَعْطِيلِهِمَا فَوَجَبَ التَّخْيِيرُ ….. ( وَ ) الضَّرْبُ الثَّانِي ( نَذْرُ تَبَرُّرٍ ) وَهُوَ تَفَعُّلٌ ، مِنْ الْبِرِّ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّ النَّاذِرَ طَلَبَ بِهِ الْبِرَّ وَالتَّقَرُّبَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى ، وَهُوَ نَوْعَانِ كَمَا فِي الْمَتْنِ . أَحَدُهُمَا : نَذْرُ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ الْمُعَلَّقُ بِشَيْءٍ ( بِأَنْ يَلْتَزِمَ ) النَّاذِرُ ( قُرْبَةً إنْ حَدَثَتْ ) لَهُ ( نِعْمَةٌ أَوْ ذَهَبَتْ ) عَنْهُ ( نِقْمَةٌ كَإِنْ شُفِيَ مَرِيضِي ) أَوْ ذَهَبَ عَنِّي كَذَا ( فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَوْ فَعَلَيَّ كَذَا ) مِنْ عِتْقٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ نَحْوِهِ ( فَيَلْزَمُهُ ذَلِكَ إذَا حَصَلَ الْمُعَلَّقُ عَلَيْهِ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إذَا عَاهَدْتُمْ } وَقَدْ ذَمَّ اللَّهُ أَقْوَامًا عَاهَدُوا وَلَمْ يُوفُوا ، فَقَالَ : { وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ } الْآيَةَ ، وَلِلْحَدِيثِ الْمَارِّ { مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ } .
تَنْبِيهٌ : أَطْلَقَ الْمُصَنِّفُ النِّعْمَةَ .وَخَصَّصَهَا الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ بِمَا يَحْصُلُ عَلَى نُذُورٍ ، فَلَا يَصِحُّ فِي النِّعَمِ الْمُعْتَادَةِ كَمَا لَا يُسْتَحَبُّ سُجُودُ الشُّكْرِ لَهَا .قَالَ الْإِمَامُ : وَوَافَقَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ ، لَكِنَّ الْقَاضِيَ الْحُسَيْنَ طَرَدَهُ فِي كُلِّ مُبَاحٍ وَهُوَ أَفْقَهُ ا هـ .وَخَرَجَ بِالْحُدُوثِ اسْتِمْرَارُ النِّعْمَةِ وَهُوَ قِيَاسُ سُجُودِ الشُّكْرِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ ، وَهَذَا يُؤَيِّدُ مَا قَالَهُ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ ، وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ الْمَنْذُورِ عَلَى حُصُولِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ إنْ كَانَ مَالِيًّا كَمَا قَالَاهُ فِي الْبَابِ الثَّانِي مِنْ أَبْوَابِ الْأَيْمَانِ ، وَإِنْ كَانَا صَحَّحَا عَدَمَ الْجَوَازِ فِي بَابِ تَعْجِيلِ الزَّكَاةِ .فَرْعٌ : لَوْ نَذَرَ شَيْئًا إنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ فَشُفِيَ ….ثُمَّ شَرَعَ فِي النَّوْعِ الثَّانِي مِنْ الضَّرْبِ الثَّانِي بِقَوْلِهِ ( وَإِنْ لَمْ يُعَلِّقْهُ ) النَّاذِرُ ( بِشَيْءٍ كَلِلَّهِ ) أَيْ كَقَوْلِهِ ابْتِدَاءً لِلَّهِ ( عَلَيَّ صَوْمٌ ) أَوْ حَجٌّ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ ( لَزِمَهُ ) مَا الْتَزَمَهُ ( فِي الْأَظْهَرِ ) لِعُمُومِ الْأَدِلَّةِ الْمُتَقَدِّمَةِ ، وَالثَّانِي لَا ، لِعَدَمِ الْعِوَضِ …فَائِدَةٌ : الصِّيغَةُ إنْ احْتَمَلَتْ نَذْرَ اللَّجَاجِ وَنَذْرَ التَّبَرُّعِ رَجَعَ فِيهَا إلَى قَصْدِ النَّاذِرِ ، فَالْمَرْغُوبُ فِيهِ تَبَرُّرٌ وَالْمَرْغُوبُ عَنْهُ لَجَاجٌ ، وَضَبَطُوا ذَلِكَ بِأَنَّ الْفِعْلَ إمَّا طَاعَةٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ أَوْ مُبَاحٌ ، وَالِالْتِزَامُ فِي كُلٍّ مِنْهَا تَارَةً يَتَعَلَّقُ بِالْإِثْبَاتِ ، وَتَارَةً بِالنَّفْيِ بِالْإِثْبَاتِ فِي الطَّاعَةِ كَقَوْلِهِ : إنْ صَلَّيْت فَعَلَيَّ كَذَا يُحْتَمَلُ التَّبَرُّرُ بِأَنْ يُرِيدَ إنْ وَفَّقَنِي اللَّهُ لِلصَّلَاةِ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ بِأَنْ يُقَالَ لَهُ : صَلِّ فَيَقُولَ : لَا أُصَلِّي وَإِنْ صَلَّيْت فَعَلَيَّ كَذَا ، وَالنَّفْيُ فِي الطَّاعَةِ كَقَوْلِهِ : وَقَدْ مُنِعَ مِنْ الصَّلَاةِ إنْ لَمْ أُصَلِّ فَعَلَيَّ كَذَا لَا يُتَصَوَّرُ إلَّا لَجَاجًا فَإِنَّهُ لَا يَبِرُّ فِي تَرْكِ الطَّاعَةِ ، وَالْإِثْبَاتِ فِي الْمَعْصِيَةِ كَقَوْلِهِ وَقَدْ أُمِرَ بِشُرْبِ الْخَمْرِ : إنْ شَرِبْت الْخَمْرَ فَعَلَيَّ كَذَا يُتَصَوَّرُ لَجَاجًا فَقَطْ ، وَالنَّفْيُ فِي الْمَعْصِيَةِ كَقَوْلِهِ : إنْ لَمْ أَشْرَبْ الْخَمْرَ فَعَلَيَّ كَذَا يَحْتَمِلُ التَّبَرُّرَ بِأَنْ يُرِيدَ إنْ عَصَمَنِي اللَّهُ مِنْ الشُّرْبِ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ بِأَنْ يُمْنَعَ مِنْ الشُّرْبِ ، فَيَقُولَ : إنْ لَمْ أَشْرَبْ فَعَلَيَّ كَذَا يُرِيدُ إنْ أَعَانَنِي اللَّهُ عَلَى كَسْرِ شَهْوَتِي فَعَلَيَّ كَذَا ، وَفِي الْإِثْبَاتِ كَقَوْلِهِ : إنْ أَكَلْت كَذَا فَعَلَيَّ كَذَا يُرِيدُ : إنْ يَسَّرَ اللَّهُ لِي فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ فِي النَّفْيِ كَقَوْلِهِ : وَقَدْ مُنِعَ مِنْ أَكْلِ الْخُبْزِ إنْ لَمْ آكُلْهُ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَفِي الْإِثْبَاتِ كَقَوْلِهِ وَقَدْ أُمِرَ بِأَكْلِهِ : إنْ أَكَلْته فَعَلَيَّ كَذَا .
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 18 / ص 321)
( يَتَخَيَّرُ ) الْمُكَفِّرُ ( فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ بَيْنَ عِتْقٍ ) فِيهَا ( كَالظِّهَارِ ) أَيْ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ كَفَّارَتُهُ بِالصِّفَةِ السَّابِقَةِ فِي بَابِهِ مِنْ كَوْنِهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً بِلَا عَيْبٍ يُخِلُّ بِعَمَلٍ أَوْ كَسْبٍ ( وَ ) بَيْنَ ( إطْعَامِ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدُّ حَبٍّ ) أَوْ غَيْرِهِ ( مِنْ غَالِبِ قُوتِ بَلَدِهِ ) كَالْفِطْرَةِ كَمَا مَرَّ فِي كِتَابِ الْكَفَّارَاتِ ، وَصَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ هُنَا ( وَ ) بَيْنَ ( كِسْوَتِهِمْ بِمَا يُسَمَّى كِسْوَةً ) مِمَّا يُعْتَادُ لُبْسُهُ ( كَقَمِيصٍ ، أَوْ عِمَامَةٍ ؛ أَوْ إزَارٍ )…. ( فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ) كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ( الثَّلَاثَةِ لَزِمَهُ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : ( فَكَفَّارَتُهُ إطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ ) . تَنْبِيهٌ : الْمُرَادُ بِالْعَجْزِ أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْمَالِ الَّذِي يَصْرِفُهُ فِي الْكَفَّارَةِ كَمَنْ يَجِدُ كِفَايَتَهُ وَكِفَايَةَ مَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ فَقَطْ ، وَلَا يَجِدُ مَا يَفْضُلُ عَنْ ذَلِكَ . قَالَا : وَمَنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ مِنْ الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَاتِ لَهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ ؛ لِأَنَّهُ فَقِيرٌ فِي الْأَخْذِ ، فَكَذَا فِي الْإِعْطَاءِ ، وَقَدْ يَمْلِكُ نِصَابًا وَلَا يَفِي دَخْلُهُ بِخَرْجِهِ فَتَلْزَمُهُ الزَّكَاةُ ، وَلَهُ أَخْذُهَا ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَابَيْنِ أَنَا لَوْ أَسْقَطْنَا الزَّكَاةَ خَلَا النِّصَابُ عَنْهَا بِلَا بَدَلٍ ، وَالتَّكْفِيرُ بِالْمَالِ لَهُ بَدَلٌ وَهُوَ الصَّوْمُ
Ibadat puasa
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Puasa (bahasa Arab: صوم) secara bahasanya boleh diertikan sebagai menahan diri. Daripada segi istilah syara' bermaksud menahan diri daripada makan atau minum untuk suatu jangkamasa tertentu.
Puasa ertinya menahan diri daripada makan dan minum serta segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sehinggalah terbenam matahari. Umat Islam juga dikehendaki menahan diri daripada menipu, mengeluarkan kata-kata buruk atau sia-sia, serta bertengkar atau bergaduh. Ini kerana puasa merupakan medan latihan memupuk kesabaran, kejujuran serta bertolak ansur sesama sendiri. Secara tidak langsung amalan puasa akan menyuburkan sikap murni di dalam diri pelakunya. Adalah menjadi harapan kita agar kesemua nilai yang baik ini akan terus dipraktikkan ke bulan-bulan berikutnya.
_______________________________________________________________________________
Isi kandungan:
1 Dalil
2 Niat puasa Ramadhan
2.1 Lafaz niat
2.2 Waktu berniat
3 Hukum puasa
3.1 Puasa Wajib
3.2 Puasa Sunat
3.3 Puasa Haram
4 Syarat wajib puasa
5 Syarat sah puasa
6 Rukun puasa
7 Sunat puasa
8 Perkara yang membatalkan puasa
9 Mereka yang diizinkan berbuka
10 Doa buka puasa
11 Tingkatan Puasa
12 Kerugian meninggalkan puasa Ramadhan
13 Pautan Luar
_______________________________________________________________________________
Dalil:
Firman Allah S.W.T: “ Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. “ - (Surah Al-Baqarah: 183)}}
Hadis Rasulullah s.a.w: Ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad, An- Nasa'i dan Al Baihaqi dari Abu Hurairah, yang bermaksud:
|" Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan bulan yang penuh berkat. Allah telah fardhukan ke atas kamu berpuasa padanya. Sepanjang bulan Ramadhan itu dibuka segala pintu Syurga dan ditutup segala pintu neraka serta dibelenggu segala syaitan......."}}
Niat puasa Ramadhan:
Tidak wajib dan tidak juga sunat berniat dalam bahasa Arab, memadai dalam bahasa Melayu atau apa-apa bahasa yang kita fahami. Tetapi baik dan berpahala jika diamalkan dalam bahasa Arab dengan niat kita cinta kepada bahasa Arab sebagai bahasa Nabi Muhammad s.a.w. dan bahasa Al-Quran.
Lafaz niat:
Lafaz setiap malam. Niat ringkas:
نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ لِلَّهِ تَعَالَى
Niatnya: Sahaja aku puasa Ramadhan kerana Allah Taala.
Lafaz lengkap:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Niatnya: Sahaja aku puasa esok hari pada bulan Ramadhan tahun ini kerana Allah Taala.
Sebenarnya bangun untuk bersahur itu sudah dikira berniat untuk berpuasa.
Lafaz niat puasa Ramadhan sepenuhnya untuk sebulan:
Lafaznya:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كِلِّهِ لِلَّهِ تَعَالَى
Niatnya: Sahaja aku berpuasa sebulan Ramadhan tahun ini kerana Allah Taala.
Digalakkan berniat puasa untuk sebulan dengan sekali niat pada malam pertama Ramadhan bagi mengelakkan daripada tidak sah puasa kerana terlupa berniat pada malamnya, kita mengikut Imam Malik yang membolehkan berniat untuk sebulan sekali gus.
Namun begitu, jika puasa Ramadhan kita terputus oleh sesuatu sebab, seperti haidh, sakit atau lain-lain, maka niat puasa sebulan itu tidak lagi memadai untuk hari-hari puasa yang seterusnya, tetapi, hendaklah diperbaharui niat apabila tidak ada lagi perkara yang menghalang daripada puasa berturut-turut tersebut. Maksudnya, dengan memperbaharui niat sekali lagi bagi semua hari-hari puasa Ramadhan yang berbaki, iaitu niatnya:
“Sahaja aku berpuasa esok dan sehingga akhir Ramadhan ini kerana Allah Ta’ala”.
Waktu berniat:
Waktu berniat bermula daripada terbenam matahari, yakni masuk waktu sembahyang fardhu Maghrib hinggalah sebelum terbit fajar shadiq (waktu Subuh). Oleh itu, bolehlah dilakukan niat puasa pada mana-mana bahagian daripada waktu tersebut, walaupun semasa berbuka.
Hukum puasa:
1.Puasa Wajib:
Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu daripada Rukun Islam. Syariat puasa Ramadhan difardhukan kepada umat Muhammad s.a.w. pada tahun ke-2 Hijrah. Makanya, wajiblah ia dilakukan oleh semua orang Islam.
*Puasa Kifarah.
*Puasa qadha
*Puasa Nazar.
2.Puasa Sunat:
Hari-hari berikut disunatkan berpuasa bagi umat Islam:
*Puasa enam hari pada bulan Syawal
*Puasa pada Hari Arafah pada 9 Zulhijjah, namun menurut Ahli Sunah Waljamaah (Sunni), berpuasa pada 9 Zulhijjah adalah haram bagi orang yang menunaikan ibadah Haji. Berpuasa pada 9 Zulhijjah juga adalah dilarang dalam Mazhab Syiah.
*Puasa pada Hari Asyura pada 10 Muharam
*Puasa pada Hari Isnin dan Khamis
*Puasa pada 13, 14, 15 haribulan pada setiap bulan Islam Hijrah. Pada tarikh-tarikh tersebut bulan akan berada dalam keadaan amat jelas kelihatan serta purnama penuh. Juga dikenali sebagai Puasa Hari Putih.
3.Puasa Haram:
Rencana utama: Tempoh haram puasa
*Puasa pada Hari Syak pada hari 30 Syaaban
*Puasa pada Hari Raya Aidil Fitri pada 1 Syawal
*Puasa pada Hari Raya Aidil Adha pada 10 Zulhijjah
*Puasa pada Hari Tashriq pada 11, 12, 13 Zulhijjah
*Puasa perempuan haid & Nifas
*Puasa pada Hari Arafah yakni pada 9 Zulhijjah, larangan berpuasa menurut Mazhab Syiah, tetapi berpuasa pada hari tersebut adalah sunat bagi Muslim yang mengikuti Mazhab Ahli Sunah Waljamaah, namun menurut pandangan Ahli Sunah Waljamaah juga, haram berpuasa pada hari tersebut bagi orang yang menunaikan Haji di Arafah.
*Puasa sunat seorang perempuan tanpa izin suaminya
*Puasa bagi orang yang bimbang berlakunya mudharat ke atas dirinya kerana berpuasa
*Puasa untuk orang lain dan yang ghaib serta tidak diniatkan kepada Allah SWT
Syarat wajib puasa:
Orang-orang Islam yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan:
* Berakal/waras
* Baligh (cukup umur)
* Mampu/tidak uzur.
Syarat sah puasa:
Manakala syarat puasa itu diterima di dalam Islam (sah) ialah:
* Orang Islam
* Berakal - tidak sah jika gila atau kanak2 belum mumayyiz
* Suci daripada haid dan nifas
* Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa, iaitu bukan dalam tempoh haram puasa.
Rukun puasa:
Rukun puasa ada dua, iaitu:
1.Berniat pada malam harinya
2.Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Sunat puasa:
Perkara-perkara berikut disunatkan ketika berpuasa:
* Makan sahur serta melambatkannya
* Menyegerakan berbuka dan sunat berbuka dengan buah kurma atau benda-benda yang manis atau air
* Menjamu orang-orang berbuka puasa
* Memperbanyakkan ibadah dan berbuat kebaikan.
Perkara yang membatalkan puasa:
Manakala perkara-perkara berikut akan membatalkan puasa jika terjadi:
* Makan dan minum dengan sengaja walaupun pada nilaian dan kadaran yang sedikit pun,seperti memakan saki baki makanan kecil yang terlekat pada celah gigi dan lain-lain lagi.
* Muntah dengan sengaja
* Bersetubuh atau keluar air mani dengan sengaja
* Keluar darah haid atau nifas
* Gila (hilang akal)
* Pitam(termasuk pengsan) atau mabuk sepanjang hari.
* Merokok disiang hari.(Termasuk menghisap ganja atau dadah)
* Murtad (keluar dari Islam)
* Memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka seperti menyembur pewangi atau menyegar mulut dan sebagainya.Larangan ini tidak termasuk memasukkan air atau udara kedalam rongga terbuka kerana ingin berwuduk atau melegakan kesakitan dan ketidakselesaan pada rongga(dengan syarat air tersebut tidak diminum atau ditelan dengan sengaja).
Mereka yang diizinkan berbuka:
Terdapat kelonggaran (harus) kepada golongan yang berikut untuk berbuka:
* Orang yang sakit .
* Orang yang berkerja buruh.
* Orang yang dalam musafir (perjalanan).
* Orang tua yang sudah lemah.
* Orang yang hamil dan ibu yang menyusukan anak.
Doa buka puasa:
اللهم لك صمت وبك امنت وعلى رزقك أفطرت
Ya Allah, Aku telah berpuasa untuk Kau dan pada Kaulah aku mempercayai dan aku membuka puasa dengan apa yang Kau berikan
Tingkatan Puasa:
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Ihya al-'Ulumuddin telah membahagikan puasa itu kepada 3 tingkatan:
1.Puasanya orang awam (shaum al-'umum): menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum.
2.Puasanya orang khusus (shaum al-khusus): turut berpuasa dari panca indera dan seluruh badan dari segala bentuk dosa.
3.Puasanya orang istimewa, super khusus (shaum al-khawasi al-khawas): turut berpuasa 'hati nurani', iaitu tidak memikirkan sangat soal keduniaan
Pembahagian di atas memberikan umat Islam ruang untuk berfikir dan menelaah tingkat manakah mereka berada.
Kerugian meninggalkan puasa Ramadhan:
Pahala puasa Ramadhan amat besar. Orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja, bukan saja telah melakukan satu dosa besar, bahkan dia mengalami satu kerugian yang amat besar, satu hari puasa yang ditinggalkan tersebut tidak boleh ditebus dengan apa jua cara, tidak boleh ditukar ganti, sekalipun orang yang meninggalkannya berpuasa seumur hidupnya. Ini jelas sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam: Maksudnya: “Sesiapa berbuka satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada rukhshah (uzur syarak) dan tidak juga kerana sakit, dia tidak akan dapat menggantikan puasa yang ditinggalkannya itu, sekalipun dia berpuasa seumur hidup.” (Hadis riwayat Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Pautan Luar/Sumber:
(Bahasa Melayu) http://www.ahmadrushdi.com/2009/08/puasa-takrif-pensyariatan-dan-rahsia/
(Bahasa Melayu) http://www.al-azim.com/masjid/seminar/kertaskerja2.pdf
(Bahasa Melayu) http://www.daawah.com/links/islam/puasa/
(Bahasa Melayu) http://www.syariahonline.com/puasa/index.htm
(Bahasa Melayu) http://www.sabah.org.my/solat/artikel/puasa/mukadimmah.htm
(Bahasa Melayu) Amalan puasa dan manusia sejagat
(Bahasa Melayu) Ibadah puasa dan peranannya dalam rawatan detoksifikasi
(Bahasa Melayu) Kebaikan berpuasa dalam menahan ketagihan merokok dan kesannya kepada kesihatan
*************************************
No comments:
Post a Comment